Rutinitas Baru

Tak terasa hampir dua bulan sudah usia Nyimas Siti Kalinda Antonius, putri pertama saya. Sejak ia dilahirkan pertengahan Januari lalu, suasana rumah kami menjadi sedikit lain, lebih ceria dan ramai tentunya. Maklumlah ini cucu pertama yang hadir di tengah keluarga mertua saya dan cucu kedua bagi orang tua saya sendiri. Kondisi ini menyebabkan kami selaku orang tua si bayi sering salah tingkah. Supaya adil dan juga ‘win-win solution’ buat semuanya, akhirnya saya dan istri membuat jadwal kunjungan bergilir ke rumah orang tua setiap minggunya. 🙂 Ternyata repot juga ya kalau setiap saat harus ‘wara wiri’, ke sana ke mari dengan bawaan yang lumayan banyak. Tapi sejauh ini kami nikmati saja. ‘Wong’ menyenangkan hati orang tua itu suatu hal yang mulia, bukan begitu teman-teman? 😉

Jika ada yang bertanya, apa dasar kami memberikan nama yang sedemikian panjang pada putri kami, maka jawabannya cukup sederhana saja. Nama tadi merupakan hasil musyawarah keluarga dengan mempertimbangkan semua masukkan yang ada. Nyimas sendiri adalah nama yang diberikan secara turun temurun pada anak perempuan dalam suku Palembang yang diambil dari garis keturunan Bapak. Karena saya bernama Kemas, maka secara adat anak perempuan saya akan memperoleh nama Nyimas. Bagi masyarakat Palembang, nama-nama seperti ini masih dipelihara dan diturunkan. Selain Kemas/Nyimas, ada Raden/Raden Ayu, Masagus/Masayu, Kiagus/Nyayu. Sayangnya jika ada wanita Palembang yang memiliki salah satu dari nama di atas menikah dengan laki-laki di luar suku Palembang, maka nama-nama tadi tidak dapat diturunkan pada anak-anaknya. Aturan lain mengenai pemberian nama anak pada pernikahan sesama suku Palembang, tapi beda nama, contoh Kiagus menikahi Nyimas, maka anak-anaknya akan mengikuti Bapak dengan menyandang nama Kiagus/Nyayu. Dengan demikian si Ibu juga tidak dapat memberikan namanya pada sang anak. Sekedar catatan, Kemas tidak sama dengan Kiemas. Kalau saya tidak salah, mohon dikoreksi, Kiemas itu adalah nama yang sering dijumpai di daerah Muara Enim. Mengenai letak nama juga sedikit berbeda. Kemas diletakkan di depan, sebagai nama pertama, sementara Kiemas biasanya diletakkan di belakang. Siti merupakan sumbangsih dari ibunda saya tercinta. Beliau ingin cucunya ada yang menggunakan Siti, karena nama tadi diyakini mewakili sesuatu yang baik dan dengan doa si cucu mengikuti jejak Siti Khadijah, Siti Aisyah dan siti-siti lainnya. Kalinda adalah kata yang diambil dari bahasa Hindi, yang berarti ‘Matahari’. Istri saya yang pilih nama ini. Harapannya adalah agar ia menjadi matahari bagi orang-orang di sekitarnya, terutama bagi orang tuanya. Terakhir, Antonius adalah nama belakang saya. Sudah jelas kan? Mudah-mudahan nama yang panjang ini tidak terlalu berat diemban oleh si anak. Amin. Lalu, apa rasanya menjadi orang tua? Campur aduk seperti gado-gado. Banyak perasaan menjadi satu. Rasa syukur dan bahagia merupakan rasa yang paling dominan. Dalam perjalanan hidup ini, mungkin momen memiliki anak adalah momen yang paling berkesan. Apalagi jika kita diberikan kesempatan mengikuti detik-detik persalinan secara langsung seperti yang saya lakukan. sampai sekarang saya sering termenung sembari mengagumi kekuasaan Tuhan. Betapa tidak, dari rahim kecil seorang ibu lahirlah seorang bayi yang, masya Allah, cukup besar ukurannya. Di sana kita baru menyadari sepenuhnya perjuangan seorang Ibu melahirkan anaknya. Dengan kondisi antara hidup dan mati saat melahirkan, sudah sangat wajar apabila rasa cinta pada istri semakin bertambah. Selain itu, peristiwa ini mengingatkan kita pada Ibu kita sendiri. Akan durhaka kita, jika kita menyia-nyiakannya setelah beliau menjadi renta, tidak berdaya. Sehingga tidaklah berlebihan rasanya bila ada yang mengatakan, “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu.” Setelah si bayi dilahirkan, rasa suka cita dan syukur menyelimuti. Bersyukur karena anak dan istri berada dalam keadaan sehat wal’afiat. Bersyukur karena diberikan berbagai kemudahan selama proses persalinan. Bersyukur karena Tuhan masih menyayangi kami. Sedianya si bayi diperkirakan akan lahir melalui operasi Caesar, karena ada lilitan tali pusat di lehernya. Dokter kandungan kami tidak mau ambil risiko dan menyarankan untuk operasi. Pada awalnya, kami sempat terkejut, terutama istri, menerima informasi ini. Karena selama kontrol kehamilan, tidak terdapat gangguan berarti pada janin sehingga kelahiran normal sangatlah mungkin terjadi. Tidak puas, kami pun mencari ‘second opinion’ di rumah sakit lain. Dari dokter di rumah sakit tersebut, kami memperoleh pandangan yang menenangkan. Beliau berkata, dari sejumlah kasus bayi terlilit tali pusat yang ditanganinya, lahir normal masihlah memungkinkan, tergantung dari jumlah dan kuat lilitannya. Yang penting si calon Ibu haruslah tenang dan tidak boleh stres, karena ini akan mempengaruhi perkembangan janin. Setelah mendengar penjelasan itu, istri saya mulai tenang dan tidak panik lagi. Tekanan darahnya sempat naik tiba-tiba dan dikhawatirkan mengalami pre-emklampsia. Tapi setelah menjalani serangkaian tes, istri dan janin saya didiagnosa sehat-sehat saja. Syukurlah. Terus terang, kami sempat meragukan kepiawaian dokter kandungan kami yang menyarankan operasi sebelumnya dan berencana pindah ke dokter kedua. Tapi semua itu sirna setelah melihat betapa ‘dinginnya’ beliau menangani persalinan. Sekitar pukul 3 Sabtu pagi, 17 Januari 2009, istri saya masuk ruang observasi dan dinyatakan sudah pembukaan 3. Selang 4 jam berlalu, pembukaan menjadi 7. Setengah jam kemudian bertambah satu, menjadi 8. Istri saya sudah merintih kesakitan yang amat sangat. Tidak jarang dia menggenggam tangan saya sekuat-kuatnya mencoba untuk bertahan dan terus berusaha memberi jalan pada bayi untuk keluar dengan mengatur nafasnya. Sungguh saya tidak tega melihat dia dalam kondisi ini. Waktu itu saya hanya bisa berdoa agar Tuhan senantiasa memberikan kekuatan lahir dan batin dan memohon keselamatan bagi ibu dan anak. Setelah dipastikan pembukaanya sudah sempurna 10, mulailah dokter dan para bidan/perawat membantu proses persalinan. Tidak terlihat sedikitpun rasa takut di wajah istri saya. Dia mencoba tetap tenang di tengah rasa sakit yang menerpa. Saya pun tetap memberikannya semangat dan mencoba memberikan keyakinan bahwa ia pasti bisa melewati ini semua. Menit demi menit berlalu, tidak terasa sudah 30 menit istri saya berjuang, si kepala bayi belum juga muncul sepenuhnya. Melihat kondisi istri yang kelelahan dan mengkhawatirkan keselamatan bayi, akhirnya si dokter memutuskan untuk menggunakan alat vakum. Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian, sekitar pukul 10.15 lahirlah si buah hati dalam keadaan sehat dan sempurna. Istri saya hanya bisa melihat dengan mata sayu kehadirannya dan berusaha tetap sadar. Sewaktu dokter tengah sibuk menjahit, saya pun merekam momen-momen pertama si bayi. Tak terasa menitik air mata ini perlahan-lahan, plong rasanya. Semua beban tiba-tiba hilang tergantikan rasa bahagia dan syukur yang amat dalam pada Illahi. Singkat cerita, setelah dibersihkan, si bayi diletakkan di dada Ibu, untuk inisiasi menyusui, sembari saya mengumandangkan azan dan iqamah di kedua telinganya. Setelah dirawat 3 hari, akhirnya ibu dan anak diperbolehkan pulang.

Sesampainya di rumah, pekerjaan yang sebenarnya dimulai. Bagi kami, orang tua baru, kehadiran si bayi telah mengubah cara dan kebiasaan hidup selama ini. Banyak hal baru yang kami temui dan tidak sedikit pula kami harus berjuang menyesuaikan diri. Memang benar kata orang tua, di bulan-bulan pertama jangan harap bisa tidur nyenyak di malam hari. Siklus bangun dan tidur bayi yang silih berganti membuat kami sering keteteran. Rasa lelah dan ngantuk adalah menu sehari-hari. Namun di balik itu semua, banyak hikmah yang bisa kami ambil. Dengan punya bayi, hidup kami jadi lebih berarti dan banyak kepandaian baru yang diperoleh. Sebelumnya saya tidak bisa menimang bayi, menyusui, menidurkan dan mengganti pakaiannya. Alhamdulillah sekarang sudah bisa. Tentunya kepandaian saya masih jauh di bawah sang istri, yang notabene tiap saat berhadapan dengan si bayi. Sekarang sedikit demi sedikit saya sudah paham kenapa dia menangis, ekspresi wajahnya ketika buang air dan jika ia lagi bosan. Lucu juga ya. 🙂 Di usianya yang menuju dua bulan, dia sudah bisa mengangkat-angkat kepalanya ketika ditengkurapkan. Dia juga sudah bisa diajak ngomong dan bermain dengan memberikan respon berupa suara-suara kecil dan mimik muka yang lucu. Tangan dan kakinya juga sudah bergerak aktif. Kondisi badan secara umum alhamdulillah sehat. Oh ya, dia juga jarang menangis/rewel dan sangat senang ketika dimandikan. Insya Allah anak ini akan menjadi anak yang kuat dan cerdas nantinya. Amin.

Demikian sekelumit rutinitas kehidupan baru yang saya jalani selain rutinitas lainnya. Mohon maaf jika beberapa waktu belakangan ini saya terkesan hilang dari ‘peredaran’. Sepertinya saya masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan ritme yang baru. Yang jelas, hadirnya anak merupakan amanah yang harus dipelihara dengan baik dan tanggung jawab. Semoga saja saya dan istri dapat mengasuh dan mendidik anak tersebut menjadi anak yang terbaik bagi lingkungannya. Selain itu saya mohon doa restu teman-teman sekalian, insya Allah jika tidak ada aral melintang, ada rutinitas baru lainnya yang belum dapat saya beberkan saat ini. Mudah-mudahan semua berjalan sesuai rencana dan harapan. Amin.

Advertisement