Akhir pekan kemarin merupakan akhir pekan yang membuat saya kembali jatuh cinta kepada Linux. Ntah kenapa, perasaan itu muncul kembali tiba-tiba. Dua tiga tahun lalu saya memang pengguna Linux yang cukup aktif. Aktif dalam arti kata, download distro ini dan itu, coba distro ini dan itu, dan sekalian mempelajari Linux itu sendiri apa dan bagaimana cara menggunakannya. Hampir tiap malam saya habiskan waktu mengamati Distrowatch.com, dan berbagai situs Linux lainnya hanya untuk mengetahui apakah ada varian Linux lain yang patut dicoba. Walhasil dari pencarian jati diri tersebut saya buntut-buntutnya tersangkut di Red Hat (waktu itu masih gratis), Mandrake dan Lycoris. 🙂
Alasan utama memilih ketiga distro ini adalah karena mereka memiliki GUI yang bagus dan menyerupai Windows, terutama Lycoris. Walau saya pun tahu bahwasanya masih banyak distro lain yang sebenarnya memiliki karakteristik yang saya sebutkan tadi. Dulu, saya menggunakan Linux itu paling untuk menjelajah internet, e-mail dan instant messaging, menggunakan perangkat Office (Word, Spreadsheet), mendengarkan musik dan menonton film. Setelah cukup familiar dengan Linux, kemudian dilanjutkan dengan meng-install server sendiri dan sebagainya. Wah, jika dilihat kembali, bisa dikatakan saya aktif sekali waktu itu. 😀 Namun karena saya kemudian menjadi sibuk dengan kegiatan di kampus dan masyarakat, kebiasaan ini perlahan-lahan saya tinggalkan dan akhirnya menggunakan Windows lagi. Apalagi didukung dengan faktor lingkungan di mana di sekitar saya belum ada orang yang menggunakan Linux. Semuanya Windows, sampai saya sendiri jadi ikut-ikutan terlena. Yang anehnya setiap kali ada permasalahan dengan komputer, orang selalu datang kepada saya. Mungkin karena dulu sekali saya pernah membantu beberapa orang teman dengan komputer-nya dan berhasil, sampai-sampai sekarang mereka menganggap saya ahli reparasi komputer. Weleh, orang belajar ekonomi kok dianggap jago komputer. Lain dengan Mas Amal yang notabene adalah orang teknik informatika. 😛
Setelah membaca artikel ini dan ini, saya menjadi tertarik untuk bermain dengan Linux kembali. Terlebih-lebih sejak adanya program emulator Linux di Windows. Sebelum saya mengenal adanya QEMU, saya juga sudah pernah mencoba VMWare dan Virtual PC (produk Connectix yang sekarang diakuisisi oleh Microsoft). Semuanya bagus dan (hampir) dapat menggunakan semua resources yang ada di host Windows. Distro Linux dapat teremulasi dengan baik di sana. Tapi, yang menjadi kelemahan dari produk-produk raksasa di atas, terkecuali QEMU adalah mereka mahal dan berat. Berat dalam arti kata memakan resource yang cukup banyak, sehingga tak jarang komputer hang dibuatnya. Paling tidak itu yang terjadi di komputer saya (P III 800 MHz, 256 MB RAM). Atau saya yang salah konfigurasi waktu itu sehingga terjadi koalisi? Hmmm…. 🙂
Kembali ke topik di atas, pertama-tama saya ingin mencoba QEMU, tapi setelah melihat konfigurasi yang begitu banyak dan membingungkan (maaf bang MDAMT, bukan saya tidak setuju, tapi itu yang terjadi pada saya) dan disk images yang begitu besar, akhirnya saya memutuskan tidak jadi. Terus, saya membaca komentar Pak Andika untuk mencoba coLinux (Cooperative Linux). Ya
sudah, navigasi selanjutnya diarahkan ke sana. Setelah melihat-lihat sebentar dan membaca teks pengantar, saya memutuskan untuk mencoba software satu ini.
Yang menarik dari coLinux ini adalah dia tidak menginterupsi kinerja dari Windows dengan mengakses I/O devices secara langsung. Sebagai gantinya coLinux memanfaatkan virtualisasi hardware yang terdapat di dalam Windows dengan mengemulasi drivers yang tersedia di coLinux. Ibarat parasit tapi tidak mencederai inangnya. Kemudian, yang saya saya suka selanjutnya adalah coLinux memanfaatkan TAP-Win32 Network Driver/NAT untuk menjalin kontak network dengan host Windows. Dengan demikian, kita bisa menjalankan program internet dan memperbaharui distro yang dipakai dengan mudah. Selain TAP/NAT, coLinux menyediakan fungsi networking bridge. Untuk ini harus ada software tambahan yang di-download, yaitu Win Pcap. Perlu diperhatikan juga coLinux hanya dapat dijalankan di host Windows 2000/XP/2003.
Proses instalasi berjalan dengan lancar. Setelah men-download program instalasinya, langsung dieksekusi. Folder baru akan dibuat di direktori Windows dengan nama coLinux. Disarankan menempatkan folder ini di root Windows (c:\coLinux\) daripada default, c:\Program Files\coLinux, untuk memudahkan akses. Saya menggunakan program binary yang disediakan dan memilih versi stabil terakhir, 0.6.2-linux-2.6.10. Seperti terbaca, coLinux yang saya pakai menggunakan kernel versi 2.6.10 (versi stabil terakhir kernel saat ini untuk kernel 2.6 adalah 2.6.11). Untuk disk image saya menggunakan Debian unstable (sid). Semua dapat di-download di sini. Selain Debian, ada juga Gento stage 3 dan Fedore Core 1. Tempatkan disk image ini di folder yang sama dengan coLinux.
Langkah selanjutnya adalah mengubah konfigurasi di file default.colinux.xml. Edit nama file untuk disk image sesuai dengan distro yang di-download, aktifkan swap jika dibutuhkan (file swap di-download secara terpisah di sini), tentukan alokasi memori fisik dari host yang ingin dipakai dan beritahu coLinux tipe network sharing, TAP atau bridge. Setelah selesai, simpan file tersebut. Sampai di sini, secara prinsip coLinux sudah dapat dijalankan dengan menggunakan disk image. Cukup beri perintah:
colinux-daemon.exe -t nt -c default.colinux.xml
di bagian command Windows.
coLinux akan mengadakan inisialisasi apakah semua sudah OK, dan menampilkan login prompt root, jika sudah selesai. Kata sandi untuk root adalah root. Perhatikan di layar yang ada, apakah ada yang tidak bisa dijalankan. Kalau ada, coba tutup coLinux dengan
shutdown -h now
dan perbaiki konfigurasi di file default.colinux.xml.
(Dokumentasi lebih lengkap dapat dibaca di sini).
Bagian yang paling sulit adalah mengkonfigurasi network sharing dengan host Windows. Saya sendiri menggunakan TAP karena ini yang paling mudah, walaupun sebenarnya bridge lebih mudah lagi. Tapi karena satu dan lain hal metode bridge tidak jalan di Windows XP yang saya punya yang menggunakan LAN dengan DHCP aktif. Caranya cukup sederhana tapi bisa juga membingungkan. Pertama-tama aktifkan ICS (Internet Connection Sharing) di kartu network yang berhubungan langsung dengan LAN. Kemudian di konfigurasi network untuk TAP/NAT, tentukan alamat IP dan subnet mask yang diinginkan. Saya menggunakan 192.168.0.1 / 255.255.255.0. Setelah itu jalankan coLinux, dan edit file berikut, /etc/network/interfaces. (Untuk Debian)
editor /etc/network/interfaces
terus dilanjutkan dengan
iface lo
inet loopback
auto lo eth0
iface eth0 inet static
address 192.168.0.40
gateway 192.168.0.1
netmask 255.255.255.0
Simpan.
Kemudian, edit DNS di /etc/resolv.conf. Sesuaikan dengan nameserver yang dipakai oleh LAN/ISP anda.
Setelah itu reboot coLinux agar konfigurasi tadi memberikan efek. Atau, jika anda tidak sabaran bisa pakai perintah ini. (Untuk Debian)
ifdown eth0
ifup eth0
Coba cek dengan mem-ping sebuah situs web yang anda tuju. Kalau ping berhasil, berarti anda sudah memiliki koneksi ke internet dan ke host.
(Dokumentasi lebih lengkap dapat dibaca di sini)
Sekarang setelah coLinux sudah berhasil dijalankan, begitupula dengan koneksi network-nya, kebebasan diberikan kepada pengguna sepenuhnya untuk memberikan warna dan citarasa kepada distro yang digunakan. Karena belum dilengkapi dengan X Window Server, coLinux yang baru saja diinstalasi belum mendukung GUI. Jadi tugas selanjutnya adalah meng-install X window server dan berbagai pernak-perniknya. Karena cukup panjang, saya tidak dapat menulisnya di sini satu per satu. Oleh karena itu silakan membaca dokumentasi berkenaan dengan ini di sini. Cukup jelas dan edukatif.
Setelah X window server, display manager/window manager terpasang, ada beberapa cara dalam menampilkan GUI dari distro yang dipakai, di antaranya:
Cara pertama dengan menggunakan Cygwin/X dan program sejenisnya.
Cara kedua adalah dengan memanfaatkan VNC Server/Client.
Kedua-duanya memiliki pro dan kontra. Silakan dicoba mana yang menurut anda sesuai. Saya sendiri menggunakan cara kedua, karena lebih efisien dan cepat.
Berbicara tentang Debian, terus terang ini pengalaman pertama saya menggunakannya. Impresi pertama sangat menarik. Dengan vanilla distro yang diberikan, memberikan kebebasan kepada pengguna untuk mengkonfigurasi distro sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Fungsi apt-get dalam hal ini sangatlah membantu. Kita dapat men-download sebuah paket langsung dengan semua dependensi-nya. Hanya saja karena Debian sangatlah stabil, paket-paket yang terdapat di dalamnya terkadang ketinggalan zaman. Maka dari itu saya memilih versi unstable (sid), dengan harapan dapat bermain-main dengan aplikasi baru dengan nyaman. Walaupun sebenarnya sangat beresiko hehe… Ah, anggap saja trade off untuk sebuah kesenangan… 😀
Kesimpulan yang dapat diambil dari eksperimen ini adalah:
Pengalaman yang diberikan oleh coLinux ini tidak jauh beda dengan di lingkungan aslinya. Jika anda bisa berbuat yang sama di lingkungan aslinya, hal yang serupa dapat anda lakukan di sini dengan host Windows. Hanya saja kekurangan yang masih terlihat jelas adalah tidak semua resources dan devices yang ada di host Windows dapat digunakan. Sebagai contoh suara. CD/DVD drives dan hard disk dapat diakses. Jika kita memiliki partisi yang sudah ada distro Linux-nya juga bisa diakses, bahkan dari ISO. Hal inilah yang membuat coLinux, menurut saya, lebih fleksibel. Dapat digunakan di Windows dengan berbagai varian Linux, dari berbagai sumber, tanpa meninggalkan ciri khas lingkungan Linux yang sebenarnya. Sebuah solusi yang menggabungkan dua dunia yang berbeda.
Referensi:
1. coLinux
2. Wiki coLinux
3. Debian
4. Linux
CoLinux memang enak untuk yang masih kerja di dua sistem MS Windows dan Linux , daripada bolak-balik reboot enakan memakai CoLinux bisa seperti memakai dua komputer sekaligus.
Untuk demo juga bagus , colinux sebagai server dan Windows sebagai client asyik kan.
Saya setuju sekali dengan pendapat Mas Sugeng. 🙂 Apalagi katanya sekarang coLinux bisa dijadikan firewall untuk Windows. Lengkap sudah.. 😀
He… he… syukurlah sejauh ini tidak ada pembatasan bahwa Debian hanya dipakai oleh “orang informatika.” 🙂
Lagipula jika saya disebut “orang informatika”, itu kan latar belakang, yang berarti masa lalu. Padahal kita hidup di masa kini, sehingga boleh jadi sudah kurang cocok lagi bawaan dari masa lalu itu. He… he… lagi. 😉
Selamat menikmati Linux yang kooperatif.
Terima kasih Mas Amal. 🙂
Hehe.. iya memang tidak ada pembatasan untuk belajar sesuatu dalam hidup ini. Semua bisa asalkan ada kemauan, kesempatan dan dukungan yang cukup.
Walaupun kita hidup di masa kini, tapi masa lalu tentu saja tidak dapat dilupakan begitu saja dan terkadang menjadi tolok ukur untuk masa depan. 🙂
Terimakasih banyak atas informasinya 🙂 sekarang coLinux sudah berjalan di tempat kerja saya, dan menjadi test server untuk saat ini. Nice one.